Dalam masyarakat tradisional, suara agama adalah satu-satunya yang didengar dan dipercaya. Ia tidak hanya memberi makna, tapi juga menetapkan batas
Dalam masyarakat tradisional, suara agama adalah satu-satunya yang didengar dan dipercaya. Ia tidak hanya memberi makna, tapi juga menetapkan batas moral, sosial, dan politik. Namun, dalam dunia sekuler dan plural seperti sekarang, agama tak lagi menjadi satu-satunya pembicara di ruang publik. Ia hanya satu suara di antara banyak suara lain, seperti filsafat, sains, media, budaya populer, bahkan algoritma.
Perubahan ini, yang dimulai sejak proses sekularisasi mengubah struktur sosial modern, membawa konsekuensi besar: agama kini tidak lagi berdiri di atas menara otoritas tunggal. Sebaliknya, ia harus menjelaskan dan membenarkan dirinya sendiri di tengah keragaman perspektif yang saling bersaing.
Krisis Otoritas dan Legitimasi
Peter L. Berger menyebut fenomena ini sebagai krisis legitimasi. Ketika masyarakat tidak lagi mengakui otoritas tunggal dari institusi keagamaan, maka semua klaim kebenaran, termasuk yang bersifat religius, harus masuk ke dalam arena perdebatan. Berger menulis:
"Religious institutions really were institutions properly speaking, regulatory agencies for both thought and action." (p. 156) (Institusi religius adalah lembaga pengatur pemikiran dan tindakan.)
Namun kini, status tersebut telah berubah. Tradisi religius tidak lagi memiliki hak istimewa untuk mendefinisikan kebenaran sosial. Mereka telah kehilangan monopoli interpretatif, yaitu suatu proses yang oleh Berger disebut sebagai demonopolisasi.
Tidak Ada Lagi Kepastian Tunggal
Dalam masyarakat plural, tidak ada lagi satu definisi realitas yang mutlak. Agama, filsafat, ideologi politik, dan bahkan narasi populer saling bersaing untuk menawarkan makna. Hal ini membuat institusi keagamaan menghadapi tekanan untuk mempertahankan plausibility structure, yaitu suatu struktur yang membuat ajaran mereka terasa masuk akal dan bisa diterima oleh masyarakat.
Berger menyebut hal ini sebagai krisis plausibilitas. Ia menulis:
"The crisis of theology ... is grounded in a crisis of plausibility that precedes any theorizing." (p. 178) (Krisis teologi ... berakar pada krisis plausibilitas yang mendahului teorisasi.)
Dengan kata lain, sebelum sebuah doktrin bisa dibahas secara teologis, ia terlebih dahulu harus bisa dipercaya dalam dunia sosial yang plural dan kritis.
Dua Jalan: Akomodasi atau Resistensi
Berhadapan dengan tantangan ini, institusi agama tidak bisa tinggal diam. Berger mengidentifikasi dua respons utama yang mungkin diambil: akomodasi atau resistensi.
Akomodasi berarti menyesuaikan ajaran, bahasa, dan struktur kelembagaan dengan tuntutan masyarakat modern. Strategi ini bertujuan agar agama tetap relevan dan tidak ditinggalkan generasi muda atau masyarakat rasional.
Di sisi lain, resistensi adalah pilihan untuk mempertahankan ajaran tradisional tanpa kompromi. Institusi keagamaan yang memilih jalur ini menolak modernisasi dengan alasan menjaga kemurnian iman dan nilai.
Kedua jalur ini memiliki risiko masing-masing. Akomodasi yang terlalu jauh bisa mengikis identitas religius dan membuat agama kehilangan kekhasannya. Sebaliknya, resistensi yang kaku bisa menjauhkan agama dari realitas sosial dan mempersempit jangkauan pengaruhnya.
Legitimasi yang Terus Diuji
Situasi ini menciptakan dinamika baru dalam hubungan antara agama dan masyarakat. Berger menjelaskan:
"Secularization brings about a demonopolization of religious traditions." (p. 156) (Sekularisasi menghasilkan demonopolisasi tradisi religius.)
Agama tidak lagi diasumsikan benar. Ia harus membuktikan diri di tengah arena publik yang plural dan kritis. Ini bukan hanya soal mempertahankan jemaat, tapi mempertahankan makna. Maka, institusi agama harus terus-menerus menegosiasikan posisinya, menjawab tantangan, dan menawarkan jawaban baru tanpa kehilangan substansi.
Menatap Tantangan dengan Jujur
Apakah pluralisme adalah ancaman bagi agama? Ataukah ia membuka ruang baru untuk refleksi dan pembaruan? Berger tidak memberi jawaban mutlak. Tapi ia menegaskan bahwa di tengah dunia yang tak lagi diatur oleh satu otoritas tunggal, agama ditantang untuk merefleksikan ulang peran dan pesannya. Dunia modern tidak memusnahkan agama, tetapi memaksa agama untuk berdialog, bukan hanya dengan masyarakat, tapi dengan dirinya sendiri.
Selanjutnya dalam Serial Ini
Artikel berikutnya akan menjelajahi lebih dalam dilema yang dihadapi institusi keagamaan dalam merespons sekularisasi. Di antara dua kutub, yaitu akomodasi dan resistensi, bagaimana agama bisa tetap bermakna dan tidak kehilangan jati dirinya?
Judulnya: “Bertahan atau Berubah?”
COMMENTS