Modernitas membawa perubahan besar dalam cara manusia memaknai hidup. Rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan pluralisme telah menjadi kekuatan dominan da
Modernitas membawa perubahan besar dalam cara manusia memaknai hidup. Rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan pluralisme telah menjadi kekuatan dominan dalam masyarakat. Di tengah arus itu, institusi agama tidak lagi bisa mengklaim otoritas mutlak seperti di masa lalu. Mereka tidak hanya kehilangan tempat istimewa dalam sistem sosial, tetapi juga diuji dari dalam: akankah mereka bertahan dengan ajaran lama, ataukah mereka berubah agar tetap relevan?
Inilah dilema yang digambarkan Peter L. Berger dengan tajam: ketika institusi keagamaan dihadapkan pada krisis legitimasi, ada dua arah respons yang bisa mereka ambil.
Dua Jalan: Akomodasi atau Resistensi
Berger menyebutkan bahwa dalam menghadapi krisis ini, institusi agama cenderung memilih satu dari dua jalan besar: akomodasi atau resistensi.
Akomodasi adalah pilihan untuk memodifikasi ajaran, praktik, atau cara penyampaian keagamaan agar lebih bisa diterima dalam masyarakat modern. Gereja, masjid, atau lembaga keagamaan lainnya mungkin mulai menggunakan bahasa yang lebih inklusif, pendekatan psikologis, atau membuka ruang dialog dengan sains dan budaya populer. Pendekatan ini didasari keinginan untuk menjaga relevansi agar agama tetap bisa menyentuh kehidupan sehari-hari orang modern.
Sebaliknya, resistensi adalah sikap mempertahankan kemurnian ajaran dan menolak perubahan yang dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap nilai-nilai ilahi. Lembaga keagamaan yang mengambil posisi ini menolak mengadaptasi diri terhadap nilai-nilai liberal atau relativisme moral. Mereka lebih memilih menjaga kontinuitas tradisi daripada menyesuaikan diri dengan zaman.
Tidak Ada Jalan yang Tanpa Risiko
Kedua pilihan ini memiliki konsekuensi serius. Akomodasi bisa menyebabkan krisis identitas. Ketika agama terlalu mengikuti zaman, ia bisa kehilangan esensinya. Pesannya menjadi kabur, dan batas antara sakral dan profan semakin tak jelas. Umat mungkin mulai mempertanyakan apa bedanya antara agama dan sekadar etika sosial biasa.
Di sisi lain, resistensi yang terlalu keras bisa membuat agama tertinggal, eksklusif, bahkan dianggap tidak relevan. Ketika institusi agama menolak berdialog dengan realitas sosial yang terus berubah, mereka berisiko kehilangan generasi muda yang mencari agama yang hidup dan kontekstual.
Berger melihat ketegangan ini sebagai bagian dari krisis plausibilitas yang lebih besar:
"The crisis of theology ... is grounded in a crisis of plausibility that precedes any theorizing." (Krisis teologi berakar pada krisis plausibilitas yang mendahului teorisasi.)
Artinya, sebelum sebuah ajaran bisa diajarkan atau ditafsirkan, ia terlebih dulu harus masuk akal dan terasa masuk dalam konteks sosial tertentu. Bila tidak, ia akan ditinggalkan, bukan karena salah, tetapi karena tidak lagi terdengar meyakinkan.
Legitimasi yang Harus Terus Dibangun
Dalam dunia yang sudah tidak lagi mengenal otoritas tunggal, agama tidak bisa sekadar bersandar pada warisan masa lalu. Ia harus menjawab pertanyaan baru, dalam bahasa baru, tanpa kehilangan pesan lamanya. Dan ini bukan proses sekali jadi, melainkan proses yang terus berlangsung.
Berger menulis:
"Secularization brings about a demonopolization of religious traditions." (Sekularisasi menghasilkan demonopolisasi tradisi religius.)
Kini, semua klaim religius harus bersaing dalam pasar gagasan. Institusi keagamaan tidak lagi diasumsikan benar; mereka harus memperjuangkan legitimasi mereka secara aktif.
Mencari Jalan Ketiga?
Apakah harus memilih salah satu dari dua kutub itu? Tidak selalu. Mungkin yang dibutuhkan adalah jalan tengah yang reflektif, yaitu kemampuan untuk tetap setia pada prinsip, namun cukup terbuka untuk mengakui bahwa zaman telah berubah. Agama yang hidup bukanlah agama yang membeku, tetapi yang mampu membaca tanda-tanda zaman tanpa kehilangan jiwanya.
Agama tidak harus menjadi sekadar suara nostalgia, tapi juga bisa menjadi pemandu yang jujur, berani, dan relevan di tengah dunia yang terus bergerak.
Selanjutnya dalam Serial Ini
Artikel berikutnya akan menyelami pemikiran Berger tentang dialektika antara sekularisasi dan kebangkitan agama. Apakah benar agama sedang mundur, atau justru sedang berubah wujud?
Judulnya: “Agama, Sekularisasi, dan Dialektika Berger”
COMMENTS