Kita hidup di zaman di mana tidak ada lagi satu kebenaran tunggal yang mengikat semua orang. Dunia ini plural, bukan hanya dalam kepercayaan...
Kita hidup di zaman di mana tidak ada lagi satu kebenaran tunggal yang mengikat semua orang. Dunia ini plural, bukan hanya dalam kepercayaan, tapi juga dalam cara hidup, cara berpikir, dan cara mencari makna. Di tengah keberagaman itu, agama tidak lagi menjadi pemandu tunggal seperti dalam masyarakat tradisional. Lalu, apa makna agama hari ini? Apakah ia masih punya tempat dalam lanskap sosial yang semakin cair?
Peter L. Berger mengingatkan kita bahwa agama bukanlah warisan yang tinggal dipeluk begitu saja. Ia adalah realitas sosial yang harus terus dibangun, dipertahankan, dan dijalani secara reflektif. Ketika dunia tidak lagi menyediakan “kanopi sakral” secara otomatis, manusia tetap butuh arti, arah, dan pengakuan eksistensial. Dan dalam konteks itulah, agama tetap relevan, meski dalam bentuk dan ekspresi yang mungkin berbeda dari masa lalu.
Pluralisme: Bebas Tapi Bingung?
Berger tidak pernah mengidealkan pluralisme secara naif. Ia justru melihat bahwa ketika terlalu banyak pilihan tersedia, krisis makna bisa muncul. Pluralisme memang membebaskan, tetapi ia juga membingungkan. Tidak ada lagi satu lembaga yang bisa secara mutlak menjawab pertanyaan: siapa saya, apa tujuan saya, mengapa ada penderitaan, dan ke mana arah hidup ini.
Di sinilah fungsi agama diuji. Apakah ia sekadar menawarkan jawaban cepat yang tak lagi dipercaya, ataukah ia bisa menjadi ruang reflektif yang membantu manusia menavigasi hidup dengan jujur dan mendalam?
Agama Sebagai Pencarian, Bukan Jawaban Siap Pakai
Dalam konteks pluralisme, agama bisa dilihat bukan lagi sebagai paket kebenaran yang tinggal diterima, tetapi sebagai proses pencarian yang berakar pada tradisi, pengalaman, dan dialog. Berger memberi isyarat bahwa agama tetap berharga jika ia membantu manusia menafsirkan dunia secara bermakna, bukan jika ia hanya memaksakan kebenaran pada dunia yang tak lagi tunduk begitu saja.
Di saat penderitaan, kehilangan, atau kekacauan hidup datang, pertanyaan eksistensial kembali muncul. Berger menulis:
"In situations of acute suffering, the need for meaning is as strong as or even stronger than the need for happiness." (p. 72) (Dalam situasi penderitaan akut, kebutuhan akan makna sama kuatnya atau bahkan lebih kuat daripada kebutuhan akan kebahagiaan.)
Agama, dalam bentuk yang terdalam, hadir untuk menjawab kebutuhan itu. Ia bukan hanya menjelaskan, tapi juga menemani dan memberi ruang bagi manusia untuk menafsirkan realitas yang kadang tidak bisa dimengerti.
Menyusun Makna di Dunia Pascakanopi
Dunia yang "pascakanopi," dunia setelah keruntuhan otoritas tunggal, adalah dunia di mana manusia harus aktif menyusun ulang makna hidupnya. Agama, jika tetap hadir dengan rendah hati dan reflektif, bisa menjadi salah satu sumber yang memberi kedalaman dan arah. Bukan karena ia memonopoli kebenaran, tetapi karena ia ikut menyuarakan pertanyaan-pertanyaan terdalam manusia yang tidak bisa dijawab dengan algoritma, konsumsi, atau logika semata.
Berger memberi kita kerangka untuk memahami bahwa agama tidak harus mati dalam dunia modern. Ia hanya harus berubah, dan dalam banyak kasus, justru menjadi lebih manusiawi.
Penutup: Ruang Bagi Agama di Dunia yang Terbuka
Serial ini bukan ingin menyimpulkan bahwa agama sedang bangkit atau sedang mati, tetapi bahwa agama sedang diuji. Dan ujian ini bisa menjadi peluang untuk menjadikannya lebih reflektif, lebih jujur, dan lebih relevan dengan kegelisahan manusia masa kini.
Siapa pun yang masih percaya bahwa hidup butuh makna yang lebih dari sekadar efisiensi dan hiburan, agama tetap punya tempat. Bukan karena ia punya semua jawaban, tapi karena ia tetap berani bertanya, dan mengajak kita bertanya bersama.
COMMENTS