Dalam banyak diskusi populer, sekularisasi sering dianggap sebagai sinonim dari kemunduran atau bahkan kematian agama. Ketika orang melihat gereja kos
Dalam banyak diskusi populer, sekularisasi sering dianggap sebagai sinonim dari kemunduran atau bahkan kematian agama. Ketika orang melihat gereja kosong, ritual ditinggalkan, atau ajaran religius tak lagi menentukan kebijakan publik, kesimpulan yang sering muncul adalah bahwa agama sedang surut dan tidak lagi relevan. Namun, Peter L. Berger mengajak kita untuk melihat lebih jauh dan lebih hati-hati. Menurutnya, sekularisasi bukanlah akhir dari agama, melainkan proses dialektis yang justru membuka ruang bagi transformasi religiusitas itu sendiri.
Dialektika Sekularisasi: Lebih dari Sekadar Penurunan
Dalam pendekatan dialektis Berger, agama dan sekularisasi tidak selalu berada dalam hubungan oposisi biner. Artinya, sekularisasi tidak selalu menyebabkan lenyapnya agama, dan agama tidak selalu menjadi korban dari modernitas. Sebaliknya, dalam konteks tertentu, agama justru bisa berkembang sebagai respons terhadap dinamika sekularisasi.
Berger menegaskan bahwa:
"Sekularisasi bukan sekadar proses linear, melainkan dialektis—di mana agama dapat menjadi 'variabel independen' maupun 'variabel dependen' dalam berbagai konteks historis."
Dengan kata lain, terkadang agama berubah karena terdorong oleh tekanan eksternal (sebagai variabel dependen), tetapi di saat lain, agama justru bisa menjadi kekuatan yang mendorong perubahan sosial itu sendiri (sebagai variabel independen).
Sekularisasi dan Pluralisasi: Dua Arah yang Saling Memengaruhi
Salah satu dinamika dialektis yang penting dalam pemikiran Berger adalah hubungan antara sekularisasi dan pluralisme. Ketika agama kehilangan monopoli atas makna sosial, masyarakat menjadi plural secara nilai dan kepercayaan. Namun pluralisme ini sendiri justru mempercepat proses sekularisasi karena tidak ada lagi struktur tunggal yang secara otomatis dianggap sah.
Berger menyebut hubungan ini sebagai hubungan timbal balik. Pluralisme mendorong sekularisasi karena otoritas tidak lagi tunggal, sementara sekularisasi memperkuat pluralisme karena membuka ruang bagi berbagai alternatif. Ini menciptakan lingkungan sosial di mana setiap pandangan, termasuk yang religius, harus bersaing dalam ruang makna yang cair dan terbuka.
Legitimasi Tidak Lagi Diberikan, Tapi Harus Diperjuangkan
Dalam dunia seperti ini, kepercayaan religius tidak bisa hanya diwariskan. Ia harus dikomunikasikan, dibenarkan, dan dijalani secara sadar. Berger menulis:
"The crisis of theology is grounded in a crisis of plausibility that precedes any theorizing." (Krisis teologi berakar pada krisis plausibilitas yang mendahului teorisasi.)
Artinya, sebelum suatu ajaran bisa dibicarakan secara teologis, ia harus terlebih dahulu dirasakan masuk akal oleh umat yang hidup dalam dunia modern yang plural. Struktur plausibilitas itu tidak lagi otomatis terbentuk lewat komunitas atau tradisi. Ia harus dibangun lewat dialog, refleksi, dan praksis sosial yang hidup.
Ruang Baru untuk Agama?
Berger tidak menutup kemungkinan bahwa dalam dunia yang sangat sekuler, justru muncul bentuk-bentuk baru religiusitas. Ketika agama tidak lagi hadir sebagai kewajiban kolektif, ia bisa muncul sebagai pilihan sadar yang otentik. Ketika otoritas lama runtuh, orang mulai mencari makna dengan cara yang lebih personal. Dari sini muncul kebangkitan spiritualitas individual, komunitas religius alternatif, atau praktik keagamaan yang lebih terbuka terhadap lintas tradisi.
Dalam banyak hal, ini bisa dilihat sebagai proses de-alienasi. Ketika agama tidak lagi ditentukan dari luar, tetapi dipilih dan dijalani dari dalam, ia bisa menjadi pengalaman yang lebih reflektif dan eksistensial.
Kesimpulan: Berger dan Jalan Tengah Agama
Pemikiran Berger tentang sekularisasi dan agama membantu kita keluar dari perangkap dikotomi: antara agama yang memudar dan agama yang dominan. Ia membuka ruang untuk melihat bahwa agama berubah bersama masyarakat, dan bahkan bisa menjadi kekuatan pembentuk masyarakat itu sendiri. Dunia mungkin tidak lagi diselimuti “kanopi sakral” seperti dalam masyarakat tradisional, tetapi manusia tetap mencari makna, dan agama tetap menjadi salah satu jalannya.
Selanjutnya dalam Serial Ini
Dalam artikel terakhir serial ini, kita akan merenungkan bagaimana agama bisa tetap bermakna di tengah dunia yang plural, cair, dan penuh tantangan eksistensial.
Judulnya: “Apa Makna Agama di Era Plural Ini?”
COMMENTS