Mendorong Akselerasi Perampasan Aset: Antara Komitmen Politik dan Tantangan Legislasi

Mendorong Akselerasi Perampasan Aset: Antara Komitmen Politik dan Tantangan Legislasi

 

Pidato Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, pada peringatan Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei 2025 di Monas menjadi sorotan publik yang luas, khususnya terkait pernyataan tegas beliau mengenai dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Presiden menegaskan bahwa negara harus bertindak tegas terhadap koruptor dan menyatakan komitmennya untuk mendorong pembahasan RUU tersebut.

Komitmen tersebut patut diapresiasi, mengingat urgensi penguatan instrumen hukum dalam menindaklanjuti kejahatan korupsi yang telah menimbulkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar. RUU Perampasan Aset bukan hanya penting sebagai upaya hukum pidana, tetapi juga sebagai mekanisme pemulihan keuangan negara yang telah hilang akibat tindak pidana korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya.

Namun, sebagaimana halnya komitmen publik yang disampaikan dalam forum resmi, tantangan berikutnya terletak pada konsistensi implementasi. Bagaimana komitmen tersebut diterjemahkan ke dalam agenda legislasi yang terukur, menjadi penentu apakah retorika politik mampu menjelma sebagai instrumen perubahan struktural.

Realitas Legislasi: Antara Komitmen dan Keterlambatan

Meskipun Presiden telah menyampaikan dukungan terbuka terhadap RUU Perampasan Aset, realitas politik menunjukkan adanya jarak antara komitmen eksekutif dan arah pembahasan di legislatif. Hingga pertengahan tahun 2025, RUU ini belum tercantum dalam Prolegnas Prioritas, meskipun pernah masuk dalam daftar pada tahun-tahun sebelumnya.

Padahal secara politik, pemerintah memiliki dukungan mayoritas signifikan di parlemen. Koalisi Indonesia Maju dan partai-partai yang tergabung di dalamnya menguasai lebih dari 80 persen kursi DPR RI (Tempo, 2025). Kondisi ini sejatinya memberikan ruang cukup besar bagi pemerintah untuk mendorong akselerasi pembahasan regulasi strategis, termasuk RUU Perampasan Aset (ICW).

Maka muncul pertanyaan dari publik: bila komitmen telah diucapkan dan kekuatan politik tersedia, mengapa proses legislasi masih berjalan lambat? Dalam konteks ini, perlu kiranya dikaji lebih lanjut apakah kendalanya bersifat teknis, normatif, atau politis. Karena kejelasan terhadap hambatan ini akan menjadi kunci bagi percepatan tindak lanjut konkret.

Jika RUU ini kembali tertunda hingga lima tahun ke depan, maka kita perlu bersiap menghadapi satu dekade yang ditandai oleh kebocoran fiskal, degradasi etika birokrasi, dan stagnasi reformasi kelembagaan. Generasi berikutnya mungkin tidak hanya mewarisi utang keuangan, tetapi juga utang kepercayaan yang tak terbayar. Dan ketika korupsi menjadi ekosistem, bukan pengecualian, maka institusi negara akan menjadi bangunan legal yang kehilangan jiwanya: tampak megah, tapi kosong makna.

Dalam kerangka filsafat kontrak sosial, seperti yang diusung oleh Rousseau (1762) dan Locke (1689), kekuasaan politik tidak sah hanya karena dimiliki, melainkan karena dijalankan untuk memenuhi amanat keadilan publik. Ketika pemerintah menguasai 80% parlemen tetapi gagal mempercepat pengesahan RUU yang mendesak dan didukung luas, maka terjadi apa yang disebut Rousseau sebagai “volonté générale yang dibelokkan oleh kehendak minoritas elite”. Suara rakyat bukan ditolak, tapi ditunda hingga tak terdengar.

Lebih lanjut, dalam pemikiran Hannah Arendt (1958, 1970), kekuasaan yang sejati tidak dibangun dari kepemilikan kursi atau otoritas formal, melainkan dari kemampuan bertindak bersama secara publik dalam kebenaran. Jika Presiden secara terbuka menyatakan dukungan pada RUU penting, tetapi sistem di bawahnya tidak bergerak, maka publik akan membaca itu sebagai retorika tanpa agensi. Dalam pandangan Arendt, ini bukan hanya krisis politik, melainkan krisis eksistensial kekuasaan itu sendiri—ketika aktor utama gagal mengubah niat menjadi tindakan.

Dari perspektif Paul Ricoeur (1992, 2000), yang menekankan etika tanggung jawab, kekuasaan sejati diuji bukan dalam niat baik, tetapi dalam komitmen terhadap hasil. Ketika RUU Perampasan Aset tidak disahkan padahal peluang politik dan mandat publik sudah tersedia, negara seakan berdiri di tengah medan luka, tetapi memilih berunding dengan kenyamanan sistem, bukan berjuang di sisi korban keadilan.

Akhirnya, dalam logika moral Albert Camus (1951, 1942), pemerintah yang menyadari ketidakadilan tetapi membiarkannya berlarut—dengan alasan teknis, prosedural, atau kompromi kekuasaan—bukan sedang netral, tapi ikut bertanggung jawab atas kelanjutannya. “To call things by their wrong name is to add to the misfortune of the world,” tulis Camus. Menyebut keterlambatan ini sebagai “hal yang wajar dalam politik” adalah bentuk kecil dari pengkhianatan terhadap nilai keadilan itu sendiri.

Namun, kerusakan yang diakibatkan korupsi tidak hanya berada di tataran etis dan simbolik. Ia menampakkan wajahnya secara konkret dalam angka, dalam laporan, dalam penderitaan yang bisa dihitung dan disaksikan.

Dampak Korupsi: Data, Kerugian, dan Kepercayaan Publik

Pemberantasan korupsi bukan sekadar upaya penegakan hukum, melainkan bagian integral dari pembangunan kepercayaan publik terhadap negara. Ketika masyarakat menyaksikan kasus-kasus besar seperti dugaan korupsi di tubuh BUMN strategis yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah—seperti dalam perkara Pertamina yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 193 triliun untuk tahun 2023 saja (Detik) —maka urgensi reformasi hukum tidak lagi dapat ditunda.

Jika estimasi kerugian tersebut dikalkulasikan selama lima tahun, total potensi kerugian negara dapat menembus Rp 968 triliun. Angka tersebut bukan hanya menandakan kerugian fiskal, tetapi juga simbol ketimpangan antara pengelolaan aset negara dan kesejahteraan rakyat. Anggaran sebesar itu, jika dikelola optimal, dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur pendidikan, layanan kesehatan, atau subsidi energi bagi jutaan warga.

Dalam konteks global, persepsi terhadap keseriusan pemberantasan korupsi di Indonesia juga masih menjadi catatan. Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 37/100 dalam Corruption Perception Index (CPI) 2024 (Transparency International), berada di peringkat 99 dari 180 negara, di bawah negara-negara seperti Rwanda dan Timor Leste. Ini menunjukkan bahwa meskipun retorika antikorupsi terus digaungkan, persepsi atas efektivitas implementasinya masih belum cukup kuat di mata internasional.

Dalam pandangan filsafat politik klasik, negara dibangun atas dasar kontrak sosial — kesepakatan imajiner antara rakyat dan penguasa bahwa kekuasaan akan digunakan untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan umum. Namun ketika korupsi terjadi secara sistemik, terutama di institusi strategis seperti BUMN energi, kontrak sosial itu tidak sekadar dilanggar—ia dihancurkan secara sunyi.

Angka Rp 968 triliun bukan hanya kegagalan fiskal. Ia adalah jejak pengkhianatan moral, karena uang yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan malah berubah menjadi privilese diam-diam. Dalam logika etika publik, kerugian semacam ini tidak bisa dimaknai hanya dalam nominal, tapi dalam kerusakan kepercayaan kolektif — trust sebagai pilar dasar demokrasi. Kepercayaan bukan sekadar emosi, melainkan bentuk “aset sipil” yang jika hancur, tidak bisa dibangun ulang dengan APBN.

Dalam filsafat kontemporer, terutama menurut Jürgen Habermas (1981, 1992), legitimasi negara bergantung pada diskursus rasional dan transparan yang dipercaya publik. Ketika data korupsi melonjak tapi peraturan tertunda, sementara CPI stagnan, maka negara menghadapi krisis legitimasi deliberatif: publik tidak percaya bahwa institusi mampu memperbaiki dirinya sendiri.

Lebih dari itu, angka-angka ini memperlihatkan bahwa korupsi bukan lagi penyimpangan, tapi telah menjadi struktur alternatif distribusi kekuasaan. Negara yang gagal membatasi dirinya melalui hukum, justru membiarkan dirinya dikuasai oleh "modal gelap."

Maka pertanyaannya bukan sekadar "berapa besar uang yang hilang?", tetapi: "berapa lama lagi rakyat diminta bersabar, sementara hukum terus menunggu perintah dari yang paling berkuasa atas diamnya?"
Karena dalam filsafat negara, ketika kepercayaan hilang, yang tersisa hanyalah kewajiban tanpa makna.

Di balik setiap triliun yang hilang, tersembunyi jutaan potensi yang terhapus: anak yang putus sekolah, desa yang tidak teraliri listrik, pasien yang tidak sempat ditangani. Maka angka-angka itu—Rp 193 triliun, Rp 968 triliun—bukan hanya statistik. Mereka adalah simbol dari kegagalan kolektif untuk menjaga amanah, dan lebih dari itu: utang moral negara terhadap rakyatnya sendiri.

Korupsi, dalam bentuknya yang paling akut, bukan sekadar pelanggaran hukum—tetapi bentuk paling telanjang dari ketidakpedulian sistem terhadap penderitaan rakyat. Jika negara gagal memulihkan kepercayaan melalui ketegasan, maka ia kehilangan bukan hanya wibawa, tetapi juga jiwa kepemimpinannya. Dan dalam sunyi itu, rakyat tidak sekadar kecewa—mereka mulai terbiasa tanpa berharap.

Simpati Sosial vs Efektivitas Hukum

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo juga menyampaikan bahwa pemberantasan korupsi harus dijalankan secara adil, termasuk memperhatikan nasib keluarga pelaku korupsi yang tidak terlibat langsung. Pernyataan ini mencerminkan kehati-hatian Presiden dalam memastikan bahwa proses hukum tidak berdampak negatif terhadap pihak yang tidak bersalah.

Namun, penting untuk dicatat bahwa korupsi bersifat sistemik dan sering kali melibatkan aliran dana kepada pihak-pihak yang berada di lingkaran dekat pelaku, termasuk keluarga. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari puluhan kasus yang ditangani penegak hukum selama hampir satu dekade terakhir, setidaknya 44% melibatkan anggota keluarga sebagai pelaku pasif maupun aktif (ICW).

Oleh karena itu, pemulihan aset yang menyasar kekayaan hasil tindak pidana—terlepas dari atas nama siapa aset itu terdaftar—perlu tetap menjadi prioritas dalam konteks keadilan substantif. Prinsip kehati-hatian tetap perlu dijalankan, namun tidak boleh menjadi celah bagi penghindaran hukum yang sistematis.

Dengan kata lain, rasa simpati tidak boleh mengaburkan efektivitas hukum. Karena ketika negara terlalu lunak terhadap pelaku korupsi demi alasan kemanusiaan, yang sebenarnya dikorbankan adalah jutaan rakyat kecil yang tidak mendapatkan akses terhadap pelayanan dasar karena anggarannya telah diselewengkan.

Pernyataan Presiden mengenai pentingnya memperhatikan nasib anak dan istri koruptor tampaknya ingin menyeimbangkan keadilan hukum dengan keadilan moral. Namun dalam perspektif filsafat politik klasik maupun kontemporer, pernyataan ini menyentuh kontradiksi etika publik yang sangat fundamental: apakah negara lebih takut melukai keluarga pelaku, daripada mengobati luka yang ditinggalkan oleh kejahatannya?

Dalam teori keadilan retributif (Wenzel & Okimoto), hukuman diberikan secara proporsional kepada pelaku berdasarkan perbuatannya. Tetapi dalam kasus korupsi, batas antara pelaku aktif dan penikmat pasif sering kali kabur. Maka jika negara terlalu cepat menarik simpati terhadap keluarga koruptor, kita justru sedang mengaburkan tanggung jawab kolektif yang sering terlibat dalam mekanisme pencucian uang, transfer properti, atau pembelian aset atas nama orang lain.

Sementara dalam kerangka keadilan distributif (à la John Rawls) (Arneson), negara punya kewajiban pertama untuk melindungi mereka yang paling terdampak oleh ketidakadilan struktural—yakni rakyat kecil, guru honorer, pasien miskin, anak yang putus sekolah karena dana pendidikan diselewengkan. Jika anak koruptor dilihat sebagai korban sekunder, maka anak bangsa lain yang kehilangan hak karena korupsi adalah korban primer yang lebih sah dibela.

Ambil contoh seorang guru honorer di NTT yang berjalan kaki enam kilometer setiap hari demi mengajar delapan murid di kelas darurat tanpa listrik, dengan gaji Rp 300 ribu per bulan (BBC). Jika dana yang diselewengkan dalam satu kasus korupsi saja bisa menutup gaji seluruh guru honorer selama puluhan tahun, maka simpati publik seharusnya tidak dicurahkan ke keluarga pelaku, melainkan ke mereka yang setiap hari mengisi kekosongan negara dengan pengorbanan pribadi.

Maka ketika negara memilih untuk menyuarakan empati kepada keluarga pelaku, namun membiarkan guru-guru seperti Vinsensia bertahan di jurang ketidakadilan, pertanyaan besar pun muncul tentang arah keberpihakan kekuasaan.

Lebih jauh lagi, dalam perspektif etika kekuasaan, seorang pemimpin tidak dinilai dari seberapa simpatik ia terhadap individu, tetapi dari keberaniannya menegakkan prinsip dalam situasi yang tidak populer. Dalam hal ini, simpati terhadap keluarga koruptor bisa terbaca sebagai bentuk moralitas yang selektif, atau bahkan sentimentalisme yang melemahkan ketegasan etis negara.

Maka pertanyaannya bukan lagi apakah keluarga pelaku patut dikasihani, tetapi: jika negara menunjukkan kelembutan pada sisa-sisa kuasa, kapan ia menunjukkan keberpihakan pada sisa-sisa harapan?
Karena dalam etika publik, keadilan sejati bukan soal siapa yang paling dekat dengan pelaku, melainkan siapa yang paling lama menanggung akibatnya.

Rekomendasi Kebijakan Strategis

Untuk menerjemahkan komitmen Presiden secara konkret, beberapa langkah kebijakan dapat dipertimbangkan demi memastikan efektivitas pemberantasan korupsi dan percepatan pemulihan aset negara.

Pertama, apabila proses pembahasan RUU Perampasan Aset terus tertunda di DPR, maka opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat dipertimbangkan. Langkah ini bukan tanpa preseden; pemerintah sebelumnya pernah menggunakan jalur serupa untuk merespons situasi yang dinilai mendesak, seperti dalam kasus pandemi (BPK) dan omnibus law (BPK).

Kedua, perlu dibentuk lembaga atau satuan tugas lintas sektor yang secara khusus bertanggung jawab terhadap pelacakan, penyitaan, dan pengelolaan aset hasil tindak pidana. Badan ini harus didukung oleh sistem audit publik yang transparan, kolaborasi antarpenegak hukum, dan keterlibatan lembaga keuangan.

Ketiga, penguatan dan percepatan digitalisasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (e-LHKPN) dan pembukaan akses publik terhadap laporan tersebut secara real-time akan menjadi bentuk konkret dari keterbukaan dan akuntabilitas pejabat negara (LHKPN).

Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melawan korupsi, tetapi juga memperkuat legitimasi moral Presiden di mata publik dan dunia internasional.

Harapan dan Ajakan Konstruktif

Pemberantasan korupsi bukanlah perjuangan yang selesai dalam satu periode pemerintahan, apalagi dalam satu pidato. Namun, dengan dukungan politik yang solid, legitimasi publik yang luas, dan infrastruktur hukum yang memadai, Presiden Prabowo memiliki peluang historis untuk meletakkan fondasi reformasi hukum yang berdampak jangka panjang.

RUU Perampasan Aset adalah salah satu instrumen strategis untuk memastikan bahwa kejahatan luar biasa dijawab dengan kebijakan yang luar biasa pula. Upaya pemulihan aset bukan sekadar tentang angka, tetapi tentang pemulihan kepercayaan rakyat terhadap negara dan hukum.

Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan—eksekutif, legislatif, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil—perlu menjadikan momentum ini sebagai titik balik dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Komitmen Presiden layak dihargai, dan saatnya kita bersama-sama mengawalnya menuju kebijakan nyata.

Sebagai bagian dari aparatur sipil negara, kami percaya bahwa setiap elemen bangsa memiliki tanggung jawab untuk menjaga amanah konstitusi. Kritik konstruktif adalah bentuk partisipasi aktif dalam merawat demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

  • [message]
    • Disclaimer
      • Tulisan ini disampaikan dalam kapasitas pribadi penulis sebagai warga negara Indonesia, dan tidak mewakili pandangan lembaga atau institusi tempat penulis bekerja.

COMMENTS

Name

2016,2,Action,1,Adventure,1,Agama Kristen,1,Agama Yahudi,1,Ahok,2,Ajax,2,Android,1,Aplikasi,1,Art of War,1,Bahasa,1,Beasiswa,3,Belanda,1,Biografi,1,Blindness,1,Blog,3,Brothers,1,Cards View,1,Catatan,7,Catatan Hidup,1,Change.org,1,China,1,Comedy,1,Cover,1,CSS,2,Curhat,1,DataGrid,1,Demo Bela Islam I,1,Disaster,1,Disqus,1,Dokumentasi,8,Download,3,Drama,1,Drama Korea,3,Duolingo,1,EasyUI,1,Framework CSS,1,Game,3,GIT,1,Google AdSense,1,Groningen,1,Groningen University,1,HTML,2,Islam,2,jQuery,5,K-Film,3,K-Movie,4,Kata Mutiara,1,Kisah Hidup,1,Konfusius,1,Korean,4,Korupsi,1,KPOP,1,Kriptografi,1,Kuliah,1,Kungfu,1,Kungfu Style,1,Kustomisasi,1,Kutipan,1,LKS Jawa Barat 2011,1,LPDP,25,LPDP Batch 4 2016,10,LPDP Pinned,2,Material Design,2,Materialize,1,Motivasi,1,Movie,4,Mozilla Firefox,1,Muslim Cyber Army,1,MySQLi,1,NetBeans,1,Niagahoster,1,Object Oriented Programming,1,Opini,8,Paspor,1,Pendidikan,1,Pengalaman,25,Pengayaan Bahasa,3,Perang,1,Perbandingan Agama,3,Petisi Online,1,PHP,6,Politik,1,PowerDesigner,3,QR Code,1,Rangkuman,7,Review,3,RUU Perampasan Aset,1,Sejarah,1,Simulation,1,Software,1,Sosiologi,7,Sosiologi Agama,7,Source Code,1,Strategy,2,Studi Agama-agama,1,Sun Tzu,1,Suspense-Thriller,1,The Sacred Canopy,7,Themes24x7,1,Tips dan Trik,13,TOEFL,4,TOEFL ITP,4,Train,1,Troubleshooting,2,Tutorial,23,Video,2,Virus,1,W2UI,1,Walkband,1,Web Design,7,Web Programming,3,Yesus Kristus,2,Zakir Naik,1,Zhang Ziyi,1,Zombie,1,
ltr
item
Anan Bahrul Khoir: Mendorong Akselerasi Perampasan Aset: Antara Komitmen Politik dan Tantangan Legislasi
Mendorong Akselerasi Perampasan Aset: Antara Komitmen Politik dan Tantangan Legislasi
Mendorong Akselerasi Perampasan Aset: Antara Komitmen Politik dan Tantangan Legislasi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiotXBG5rmjX6-JgoHJbvFdTilz6E0PVNBCJ7k5SU-NC1_IXOx93jHAui-8F6uA78Dm8yR6lYtbKqYzOjSNR86zwe5OK-cdhkM9j74sgsf07EszMG9ntne1S15Pm3o1mc20CIAAQNtdXmghykYtpHY19pckLJALnkvnXwhrkVN-0R9qI1JoimI_7lSNKwo/s16000/ChatGPT%20Image%20May%202,%202025,%2005_08_11%20PM.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiotXBG5rmjX6-JgoHJbvFdTilz6E0PVNBCJ7k5SU-NC1_IXOx93jHAui-8F6uA78Dm8yR6lYtbKqYzOjSNR86zwe5OK-cdhkM9j74sgsf07EszMG9ntne1S15Pm3o1mc20CIAAQNtdXmghykYtpHY19pckLJALnkvnXwhrkVN-0R9qI1JoimI_7lSNKwo/s72-c/ChatGPT%20Image%20May%202,%202025,%2005_08_11%20PM.png
Anan Bahrul Khoir
http://ananbahrulkhoir.blogspot.com/2025/05/mendorong-akselerasi-perampasan-aset.html
http://ananbahrulkhoir.blogspot.com/
http://ananbahrulkhoir.blogspot.com/
http://ananbahrulkhoir.blogspot.com/2025/05/mendorong-akselerasi-perampasan-aset.html
true
1987288760696967984
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy